Finn
Judul: Finn
Penulis: Honey Dee
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke: 1 (2019)
Rate: 5/5
“Jangan pernah menyerah. Tidak peduli seberapa tua usianya, jika ada orang-orang yang mendukungnya, mencintainya, dan membantunya untuk berobat, saya yakin dia bisa sembuh. Hanya satu penyakit yang tidak bisa disembuhkan di dunia ini, kematian.” –Liz
.
.
.
Pembukaan review ini seperti biasa diawali dengan pembahasan kover. Kovernya seperti menampilkan sosok karakter Liz dan Finn. Kover tersebut menjelaskan hubungan yang saling melengkapi dapat diilustrasikan dengan Lizz yang menggunakan pakaian seperti bunga dan Finn yang mempunyai sayap layaknya kupu-kupu. Namun setelah membaca kisahnya, memang benar keduanya memiliki hubungan termasuk Dika.
Karakter sebuah novel adalah hal yang sangat penting. Penulis menciptakan tiga karakter utama yang memiliki masalah masing-masing. Awalnya mereka dipertemukan untuk saling melindungi diri dari berbagai masalahnya. Perlahan-lahan, masalah individu itu datang menghampiri satu persatu hingga mereka bertiga berhasil menemukan titik terang berserta solusinya. Setiap dari karakter tersebut memberikan pesan moral tersendiri bagi author.
Awalnya Liza diceritakan meninggalkan rumahnya karena dirinya tidak bisa berdamai dengan masa lalunya atas meninggalnya Arthur. Seiring waktu berjalan, Liza kembali dihadapkan dengan masalah keluarganya. Author secara pribadi menarik kesimpulan, karakter ini mengajak para pembaca untuk berdamai dengan masa lalu, jangan sampai masa lalu terus mengikuti kita dan merusak masa depan kita secara brutal. Temukan cara sendiri untuk menebusnya. Tidak hanya itu, sosok Liza mengajarkan bahwa kita jangan lari dari masalah karena cepat atau lambat masalah itu akan datang menghampiri kita.
Dika, merupakan karakter yang paling author benci. Kenapa? Karena Dika selalu mendapatkan perlindungan dari sang ayah, bagaimana tidak ayahnya selalu melampiaskan amarahnya pada orang lain meskipun Dika-lah yang berbuat salah. Dika sendiri juga tidak memiliki keberanian untuk menentang sang ayah, membenarkan tindakan sang ayah, bahkan di dalam hati kecilnya dia ingin menyelamatkan adiknya—Finn—dari kekejaman ayahnya. Berkat kemunculan Liz dia akhirnya berani membawa Finn meninggalkan rumah itu dan memulai hidup yang baru.
Sosok Finn, mengajarkan author untuk menghargai keberadaan mereka paling tidak jangan bedakan mereka dengan ‘manusia normal’. Mereka sendiri tidak menginginkan hidup didalam tubuh seperti itu, mereka hanya bisa menerimanya dan kita sebagai keluarganya juga harus menerima dan menyayanginya karena mereka adalah titipan Tuhan yang berharga.
.
.
.
.
.
“AUTISME LAHIR BUKAN KARENA DOSA ORANG TUANYA. NGGAK ADA DOSA YANG DITURUNKAN KE ANAKNYA. AUTIS ITU SEBENARNYA SAKIT. AUTISME JUGA BUKAN KUTUKAN ATAU ILMU HITAM”
.
.
.
Mengenai alurnya cukup menarik. Penulis menggunakan alur maju mundur, terutama saat menceritakan mengenai kedekatan Finn dan mendiang Ibunya. Berjalannya alur, author juga merasakan emosional para karakter perlahan semakin berada pada puncak mereka. Mereka bergelut dengan masalah pribadinya, mencari cara untuk menyelesaikan satu persatu bahkan Liz hanya mengesampingkan kepulangannya hanya untuk mencari Finn yang hilang.
Pada novel ini juga, penulis mengutarkan secara tidak langsung betapa kuat serta cepatnya social media dalam menyebarkan berita apapun. Baik kehilangan maupun kejahatan dalam hitungan detik masyarakat mengetahuinya, ditambah mereka tergabung dalam grup sosmed tertentu seperti Liz yang tergabung dalam grup Facebook yaitu Komunitas Autisme Indonesia. Author sarankan dijaman sekarang, hindari melakukan hal aneh-aneh karena semakin canggihnya teknologi akan semakin cepat tersebarnya berita tersebut.
Tak terasa sudah sampai pada penghujung author me-review buku ini. Buku karangan Honey Dee memiki tiga kesan sekaligus pesan moral yang sangat melekat dihati author ketika atau bahkan selesai membacanya.
Pertama, buku ini sangat menguras emosi author saat membaca. Kita atau ‘para manusia normal’ diajak untuk mengentahui bagaimana cara berpikir anak autis, menangani emosional anak autis, memahami cara berkomunikasi anak autis, dan lain sebagainya. Perasaan author cukup terkoyak ketika membacanya, saat keluarga Finn memperlakukan Finn tidak selayaknya sebagai manusia normal bahkan keluarga. Tidak hanya itu, author juga sangat kesal penulis menjabarkan cibiran orang-orang yang tidak tahu-menahu mengenai autisme dan memandang anak autis sebagai anak idiot. Dibalik autisme, mereka adalah anak yang memiliki segudang talenta yang belum tentu ‘orang normal’ dapat lakukan secara sempurna.
Kedua, memang benar adanya bahwa dibalik kesuksesan anak yang menderita autis adalah motivasi dan dukungan yang besar dari keluarganya tentunya. Tanpa dukungan keluarga, anak tersebut akan menjadi penyendiri dan menutup dirinya. Sebaliknya, dengan adanya dukungan yang maksimal dari keluarga akan memberikan semangat untuk anak tersebut untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Ketiga, Honey Dee selaku penulis secara tidak langsung mendukung para keluarga penderita autis untuk terus berjuang karena dukungan mereka adalah sumber semangat dari penderita autisme. Mungkin ini hanya contoh kecilnya, namun penyandang ataupun penderita lainnya tolong tetaplah berjuang, paling tidak berjuanglah untuk keluarga kalian.
Cukup sampai disini author mereviewnya. Author harap kalian menemukan ceritanya langsung ditoko buku, karena buku ini setidaknya bisa membuka mata hati kita terhadap orang-orang yang berkekurangan atau tengah menderita.

Comments
Post a Comment