Let It Snow (Dalam Derai Salju)
Judul buku:Let It Snow (Dalam Derai Salju)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis: John Green, Maureen Johnson, Lauren Myracle.
Dicetak: 2015
ISBN: 978-602-03-1151-7
Rating: 4/5
*
Blurb
Badai salju pada malam Natal ternyata bisa mengubah kota kecil menjadi tempat yang romantis.
Siapa kira jalan di tengah cuaca dingin dan basah akibat kereta api mogok dapat berakhir dengan ciuman mesra dari kenalan baru yang menawan. Juga perjalanan menembus tumpukan salju menuju Waffle House ternyata dapat menimbulkan cinta pada teman lama. Dan cinta sejati ternyata bisa datang berkat giliran kerja pagi buta di Starbucks.
Tiga kisah romantis karya tiga penulis bestseller ini–John Green, Maureen Johnson, dan Lauren Myracle–membuat kita percaya pada cinta sejati.
*
Cerita pertama: The Jubilee Express—Maureen Johnson
Siapa sangka hari natal yang sempurna bagi Julie atau Jubilee, mendadak menjadi malapetaka. Orang tuanya diseret ke kantor polisi karena terlibat kerusuhan Flobie, gadis itu diungsikan ke Florida tempat kakek-neneknya berada dan parahnya ia tidak bisa melewati hari natal bersama kekasihnya, Noah. Malapetaka itu tidak berhenti disitu, kereta yang ditumpangi Julie menabrak salju, sehingga harus berhenti sejenak hingga kondisi membaik. Selama keretanya berhenti, Julie memilih meninggalkan kereta, mencari kedai makanan dan ia menemukan Waffle House tak jauh dari keretanya. Disana tanpa sengaja ia bertemu dengan Stuart yang menawarkan untuk singgah di rumah lelaki asing itu. Sejak itulah pandangannya tentang Noah, sekejap berubah.
Cerita pertama ini cukup menguras emosiku ketika melihat interaksi Julie dan Noah hanya melalui sambungan telepon. Noah berusaha menghindar, sementara Julie berusaha terus menghubungi seakan meminta Noah untuk terus menemaninya layaknya seorang kekasih. Noah bukanlah kekasih yang pantas untuk Julie, lihat saja cowok itu sama sekali tidak mengkhawatirkan keberadaan Julie di tengah dinginnya salju dan malam natal.
Sementara kehadiran Stuart cukup meredam emosi. Bahkan Stuart tidak sungkan untuk memberitahukan bahwa Noah adalah pacar brengsek. Memberitahukan kalau Noah sudah tidak patut diperjuangkan kembali. Sama seperti kejadian Stuart dan Chole. Lelaki itu dengan sukarela menceritakan kejadiannya dengan mantannya–Chloe–dan akhirnya Julie memahami semuanya.
Mengenai ending cerita, aku sangat terkejut. Julie mampu melupakan Noah dalam sekejap dan berciuman dengan Stuart. Disitu aku sangat berharap Julie tidak mempergunakan Stuart sebagai pelarian sesaat.
Cerita kedua: A Cheertastic Christmas Miracle—John Green
Jatuh cinta dengan sahabat sendiri itu sudah biasa, sama seperti Tobin yang tanpa diduga menaruh perasaan dengan salah satu cewek di lingkar pertemanannya—The Duke atau Angie. Semuanya lagi-lagi dimulai dari deringan ponsel Keun secara tiba-tiba, meminta JP, Tobin, dan The Duke untuk segera ke tempat kerjanya yaitu di Waffle House, karena Keun tidak tahan dengan kehadiran segerombolan cheerleader. Dengan semangat 45, Tobin mengajak kedua sahabatnya untuk melesat ke Waffle House. Seiring perjalanan, tanpa disadari Tobin mulai menaruh perasaan pada The Duke dan akhirnya di hari Natal, ia menyatakan perasaannya.
Lambat adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan alur ceritanya. Seperti tidak ada emosional yang aku rasakan selama mengikuti perjalanan mereka dari rumah Tobin hingga ke Waffle House. Tapi di cerita ini aku menemukan penyebutan nama Stuart (di cerita sebelumnya) yang sempat memiliki hubungan dengan Chloe—si cheerleader di sekolah Tobin.
Untuk kesimpulan beserta alasan kalian harus membaca bagian ini akan aku bahas diakhir ketiga cerita Let it Snow agar menyambung.
Cerita ketiga: The Patron Saint of Pigs—Lauren Myracle
Percaya nggak percaya, hari Natal itu membawa membawa sukacita atau keajaiban bagi masing-masing orang–-contohnya saja bagi Adeline yang akrab dipanggil Addie. Cewek itu telah melakukan kesalahan besar sebelum hari natal—yaitu melakukan ciuman bersama cowok lain di tengah dirinya dan Jeb (kekasihnya) sedang dilanda masalah. Kata putus akhirnya muncul dari mulut Addie diselimuti rasa penyesalan yang amat besar. Tapi Jeb tidak menginginkannya, Jeb masih ingin bersama Addie. Hingga suatu hari tepat di hari Natal, Addie dalam hati berharap Jeb kembali bersamanya serta memaafkannya, mengulang kembali kebiasaan mereka seperti di hari Natal tahun lalu—menikmati hidangan Starbuck, hingga melakukan ciuman di Starbuck juga.
Heartwarming adalah kata yang amat cocok dengan perjalanan Addie yang sedang diuji oleh Tuhan terkait masalah Jeb. Awalnya Addie berusaha keras menghubungi Jeb, melawan rasa bersalahnya, memberanikan dirinya untuk bertanggung jawab atas tindakannya secara fair. Pada akhirnya sebuah e-mail pada Jeb terkirim sehari sebelum Natal. Beberapa jam kemudian, hatinya pupus melihat jawaban Jeb yang menggantungkannya.
Alur ceritanya sangat berkesan bagiku, seakan lewat cerita Addie dan Jeb memberikan pesan moral bahwa menerima pasangan harus lapang dada—tidak seenak jidat berkeinginan merubahnya, seperti Addie pada Jeb. Pesan moral tentang kejujuran juga tergambar jelas saat bagian pengakuan Addie telah berciuman dengan Charlie, itu patut di acungi jempol. Addie berusaha jujur dan keterbukaan terhadap Jeb. Tapi penderitaan Addie terbayar lunas saat sorot matanya mendapati sosok Jeb melangkah masuk dalam Starbuck, tempatnya bekerja.
Kesimpulan, novel (tiga cerpen) ini sangat patut dibaca. Karena membawakan alur yang ringan (seputar percintaan di masa remaja) dan timeline alur setiap cerita masih berada pada waktu yang sama—hanya berbeda tempat saja. Ini adalah bagian kesukaanku, dimana di cerita ketiga, semua karakter dari cerita pertama, kedua dan ketiga bertemu pada satu tempat dan waktu. Mereka seperti saling terkoneksi satu sama lain.
Sekian reviewnya dan stay tuna.
Comments
Post a Comment